Kebenaran itu milik Allah bukan milik produk pemikiran manusia. Sehebat apa pun cara orang berpikir tidaklah disebut hasil pemikirannya adalah kebenaran. Sekalipun yang dirujuk ayat-ayat Allah, bila tercampur dengan hasil olahan akal pikiran, maka keluarannya (output) tetap masih tidak dapat disebut sebagai kebenaran.
Jika kebenaran disejajarkan dengan kemampuan mengungkapkan ayat-ayat Allah, maka semua orang beriman tidak mengatakan bahwa Al-Quran, sekalipun telah keluar dari mulut mulia Nabi saw, adalah produk pemikiran yang mulia Rasulullah saw.
Kenyataan yang telah diyakini kebenarannya, Al-Quran adalah firman (perkataan) Allah. Sangat jelas, kebenaran itu milik Allah, bukan milik produk pemikiran.
Kesalahan terbesar selama ini, yang tidak disadari oleh kaum mukmin, adalah tidak menempatkan produk pemikiran sebagai pengetahuan umat manusia yang telah terfokus mendalami bidang kajian suatu materi kebenaran ke dalam lokusnya sendiri.
Pemisahan antara kebenaran dengan pemikiran telah mengalami distorsi karena hasutan hawa nafsu. Rasulullah saw sebagai pribadi agung yang terpilih sebagai utusan Allah tidak berkata-kata dan berbuat dengan hawa nafsu selain dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui perantaraan Jibril as ke dalam hatinya.
Nabi tidak memikirkan apa yang akan disampaikan, melainkan apa yang disampaikan dengan mulut mulia beliau dan berbuat dengan tangan dan kaki mengikuti wahyu dan petunjuk yang diturunkan Allah ke dalam hatinya.
Adakah yang menyadari, sekali lagi, bahwa kebenaran milik Allah tak dapat diklaim sebagai milik keinginan diri (nafs) sekalipun dalam pembicaraan selalu menyertakan ayat-ayat Allah sebagai upaya untuk menambah nilai poin dalam pembicaraannya?
Atas dasar apa jika kebenaran milik Allah itu dijadikan sebagai acuan pembenaran untuk pemikiran seseorang yang telah menggunakannya dalam pembicaraan sehingga dapat dikatakan bahwa dia orang benar?
Pernyataan-pernyataan orang beriman tentang ayat-ayat Allah seharusnya keluar dari hatinya, bukan dari hasil olahan akal pikirannya. Kedewasaan seseorang sebagai orang beriman bukan diletakkan pada keinginan hawa nafsunya, melainkan lahir dari kehendak Allah yang telah ditetapkan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Persoalan muncul ketika tidak menyadari bahwa kehendak Allah ditujukan kepada siapa di antara orang-orang beriman tersebut. Inilah yang menjadi rahasia Allah yang tidak dapat dijangkau oleh seorang manusia pun kecuali kepada siapa yang sudah dikehendaki oleh Allah.
Kesadaran atas kekuasaan Allah dan kehendak-Nya memilih siapa yang Dia kehendaki akan terjadi sekiranya orang beriman tersebut benar-benar telah berjuang di jalan Allah. Konsep jihad yang telah berkembang selama ini masih banyak didekati dengan pemikiran, bukan dengan apa yang telah ditetapkan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Rasulullah saw telah menyatakan: "Jihadul akbar jihadun nafs." Perang terbesar adalah memerangi diri sendiri. Tidak ditujukan untuk memerangi diri orang lain. Pernyataan beliau tersebut sudah lama diproklamirkan seusai perang badar.
Sejalan dengan itu, Allah pun telah berketetapan kepada orang beriman untuk bertakwa melalui perantaraan (wasilah) orang yang sudah bertakwa sebenar-benar bertakwa kepada-Nya. Bersama perantaraan tersebut, orang beriman diperintahkan untuk berjihad di jalan Allah supaya mendapatkan keberuntungan.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan" (QS. Al-Ma'idah: 35).
Ini adalah start awal untuk memulai jihad bersama dengan seorang wasilah. Ajakan seorang wasilah untuk berperang (berjihad) di jalan Allah pastilah karena beliau seorang pejuang yang telah meraih puncak keridaan Allah (takwa sebenar-benar bertakwa kepada-Nya).
Silakan simak artikel: Zikir Khafi: Strategi Perang (Jihad) Melawan Hawa Nafsu.
Dengan kata lain, orang-orang beriman telah diperintahkan oleh Allah untuk mencari orang takwa sebagai perantaraannya dalam berjuang di jalan Allah agar sampailah kepada-Nya.
Allah swt telah menerangkan perihal orang-orang bertakwa di dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 5:
"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung."
Maka, sangat jelaslah ketika orang takwa berbicara kebenaran dibandingkan dengan orang yang masih hanya mengandalkan kecerdasan otaknya. Petunjuk selalu dijadikan sandaran orang bertakwa dalam seluruh amaliah peribadatannya karena Allah telah meridainya.
Dalam keadaan seperti itu, orang takwa tidak lagi mengandalkan otaknya melainkan hatinya lah yang dijadikan sandaran disebabkan petunjuk diturunkan oleh Allah ke dalam hatinya.
Orang takwa itu adalah orang suci. Bagaimana untuk mengetahui penjelasannya, silakan baca: Penyucian Jiwa
3 thoughts on “Kebenaran Itu Milik Allah Bukan Milik Produk Pemikiran”