Rasa bahagia orang beriman yang berpuasa adalah pasti. Begitulah yang diyakini oleh orang-orang beriman, bahwa Allah benar dalam perkataan-Nya. Jika dikatakan kepada kaum mukmin: "Orang beriman yang menjalankan puasa karena mengikuti perintah Allah, maka Dia (Allah) akan membalasnya dengan ganjaran yang berlipat ganda," pastilah orang-orang beriman tidak menyangkalnya.
Dilipatgadakan pahalanya. Dan, diampuni dosa-dosanya. Diangkat derajatnya menjadi orang bertakwa.
Bagaimana? Subhanallah. Begitulah jawaban yang sepatutnya keluar dari mulut orang-orang beriman.
Menyucikan Allah atau bertasbih menunjukkan akan keyakinan jiwa bahwa Allah tidak pernah dusta dalam perkataan-Nya. Maha Benar Allah atas segala firman-Nya.
Alhamdulillah.
Sampai di sini Anda sedang diajak untuk mulai menerima dengan sepenuh keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Suci lagi Maha Mulia.
Merasakan Bahagia
Sementara ini masih banyak kalangan yang mencoba mendefinisikan "Bahagia" dengan cara yang dapat dirasakan oleh tingkat kepuasan hawa nafsunya, bukan hatinya.
Mengapa bisa begitu? Inilah yang akan penulis terangkan perihal bahagia dan kebahagiaan.
Sekali lagi, apakah Anda tahu apakah itu bahagia?
Jika Anda orang cerdas, Anda akan mendefinisikan dengan cara Anda memahami istilah bahagia yang dapat dirujuk dari berbagi literatur. Alam pikiran Anda akan dibawa untuk membayangkan rasa bahagia.
Adakah akan dapat ditemukan pengertian atau definisi bahagia itu? Jawabnya pasti relatif tergantung cara orang menangkap pemahamannya.
Saudaraku, istilah bahagia ini sudah hampir banyak yang dapat merasakannya. Orang dapat berkata: "Saya saat ini merasa bahagia setelah sekian lama tidak berjumpa dengan anakku hingga akhirnya hari ini saya bertemu."
Ada rasa yang terwujud di dalam jiwa ketika apa yang tidak pernah dibayangkannya terjadi, lalu terjadi tanpa direncanakan. Dalam kondisi semacam itu, secara spontan terjadi perubahan pada kondisi jiwanya.
Inilah yang banyak terjadi.
Padahal, rasa bahagia itu harus direncanakan dengan sebuah perjuangan, yang sifatnya tidak sementara selain melekat sepenuhnya pada jiwa atau hati.
Apakah Anda masih bingung dengan keterangan semacam ini? Jika ya, maka memang bahagia itu tidak perlu didefinisikan selain harus dirasakan di dalam hati-ruhaniah.
Kekuatan jiwa dapat merasakan bahagia tergantung dari jiwa itu sendiri. Maksudnya? Jiwa itu dapat bahagia jika jiwa tidak pernah mengalami penderitaan selain selalu berjuang di jalan Allah untuk tetap mendapatkan ketenteraman.
Perintah Allah sudah sangat jelas, bahwa bahagia itu harus dicari:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashash: 77).
Coba perhatikan ayat tersebut di atas, bagaimana Allah telah memerintahkan orang-orang beriman untuk mencari kebahagiaan negeri akhirat.
Pertanyaannya: kenapa harus dicari? Inilah yang penulis singgung sebelumnya bahwa kebahagiaan itu tidak bersifat sementara yang lebih condong merupakan bentuk kepuasan hawa nafsu.
Kebahagiaan yang hakiki harus diperjuangkan untuk mendapatkannya. "Dan carilah...."
Berjuang Mendapatkan Kebahagiaan Melalui Puasa
Sejenak silakan Anda pahami terlebih dahulu apa yang sudah diterangkan pada sub judul "Merasakan Bahagia" sebelum membaca uraian lebih lanjut pada sub judul ini.
Baik, mari kita lanjutkan.
Saudaraku, berpuasa itu diperintahkan oleh Allah, bukan atas keinginan hawa nafsu (diri) manusia. Maka, jika berpuasa dijalankan dengan berlandaskan pada apa yang Allah kehendaki, maka puasa itu akan dapat membahagiakan orang beriman.
Apa kebahagiaannya? Allah mengangkat derajat mulia di sisi-Nya bagi orang beriman yang telah memenuhi apa yang telah Allah kehendaki dalam beribadah puasa di bulan Ramadan.
Apa sih sebenarnya yang Allah kehendaki dalam berpuasa di bulan Ramadan itu? Jawabnya sederhana: Allah hendak menguji kesabaran orang-orang beriman dalam kehidupannya.
Bagaimana detil pemahamannya atas kalimat tersebut?
Begini saudaraku, Anda tahu apa itu puasa? Ternyata puasa itu tidak hanya sekedar mencegah dari makan dan minum di siang hari, juga mencegah apa yang dapat membatalkan puasa karena dorongan hawa nafsu.
Di situ terdapat pemahaman bahwa berpuasa sesungguhnya adalah mengendalikan hawa nafsu dari apa yang tidak diperintahkan atau yang dilarang oleh Allah.
Apakah sudah mulai memahami arah pembicaraan yang diuraikan sebelumnya? Jika sudah, Anda patut bersyukur kepada Allah. Ucapkan alhamdulillah.
Jadi, di situlah pentingnya berpuasa untuk mengendalikan hawa nafsu sehingga Allah benar-benar akan mengangkat derjat takwa kepada yang berjuang menjalankannya.
Maka, dapatlah dipastikan orang yang diangkat derajat mulia di sisi Allah adalah orang yang bahagia secara hakiki, bukan majazi (palsu).
Jiwanya tenang dan penuh kedamaian hingga hidup di dunia tidak terbebani selain selalu dapat dinikmati atas segala pemberian dari Allah. Hatinya puas karena Allah telah menurunkan rahmat dan petunjuk kepadanya.
Itulah berkah orang berpuasa yang dijalankan dengan sungguh-sungguh mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa keterpaksaan dan pamrih atau ikhlas dalam menjalankannya.