Cara meraih keimanan dan ketakwaan kepada allah membutuhkan perjuangan dengan sungguh-sungguh. Menjadi seorang Muslim tidaklah semudah yang dibayangkan oleh akal pikiran kebanyakan kaum mukmin. Muslim, secara hakiki, memuat makna berserah diri. Pemahamannya adalah keimanan seseorang pasti akan diuji oleh Allah hingga mendapati mereka tidak diam, melainkan berjuang di jalan Allah dengan bersungguh-sungguh mencapai puncak keridaan-Nya (takwa). Keimanan dan ketakwaan akan segera diraih sejalan dengan pulihnya ghirah (semangat) juang membela agama Allah.
Keikhlasan mengikuti apa yang menjadi kehendak Allah akan mengantarkan seorang mukmin ditinggikan derajatnya oleh Allah menjadi orang bertakwa. Hal demikian tidak dapat terhindar bagi siapa pun yang telah berketetapan menjadi seorang Muslim. Inilah sebuah konsekuensi yang harus disadari dan harus diperjuangkan oleh orang-orang beriman.
Keimanan dan ketakwaan tidak dapat dipisahkan dalam setiap jiwa manusia yang telah mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidaklah dapat disebut orang telah benar-benar beriman jika tidak mengikuti apa yang menjadi kehendak Allah.
Karena itu, lemahnya semangat (ghirah) seseorang yang telah berikrar menyatakan kesaksiannya atas keesaan Allah (tauhid) dan mengakui Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya dalam menegakkan kebenaran akan menurunkan derajat keimanannya di hadapan Allah. Pengakuan keimanan seseorang boleh-boleh saja diungkapkan, tetapi akhlaknya tidak sejalan dengan pengakuannya hanyalah dusta dalam keimanan.
Dengan tegas, jika hal demikian tetap berada di dalam ruang kehidupan, Allah telah menerangkan dengan firman-Nya:
"Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman" (QS. Al-Baqarah: 8).
Begitulah Allah berfirman. Adakah orang-orang beriman dapat memahami apa yang Allah kehendaki? Jelas, dengan firman yang sangat tegas tersebut, Dia (Allah) sangat menghendaki orang-orang yang mengaku beriman tidaklah cukup hanya mengaku-aku beriman selain harus dibuktikan dengan praktek peribadatan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Jihad Fi Sabilillah Sarat dengan Nilai Keimanan dan Ketakwaan
Berjuang di jalan Allah -- jihad fi sabilillah -- telah diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang beriman. Hal demikian tidak lagi ada yang harus membantah atas perintah Allah tersebut. Berjuang di jalan Allah sejalan dengan praktek peribadatan yang sarat dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.
Hakikat berjuang di jalan Allah adalah membela agama Allah dengan menegakkan kebenaran. Bukanlah disebut orang yang telah membela agama Allah kalau orang tersebut malas untuk berjuang di jalan Allah.
"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar" (QS. An-Nisa: 95).
Bagaimanakah yang disebut berjuang di jalan Allah itu? Untuk menjawab atas pertanyaan ini, akan menjadi lebih baik jika disandarkan pada apa yang Allah kehendaki sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Al-Quran.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan" (QS. Al-Ma'idah: 35).
Makna jihad jika disimak pada ayat ini (QS. Al-Ma'idah: 35), maka Anda akan menemukan perbedaannya dengan ayat sebelumnya (QS. An-Nisa:95). Perbedaannya adalah pada ayat 95 Surat An-Nisa kata jihad dimaknai sebagai perang fisik yang harus diikuti dengan pengorbanan harta dan jiwanya sampai titik darah penghabisan. Sedangkan pada ayat 35 Surat Al-Ma'idah lebih menunjuk kepada memerangi hawa nafsu (Jihadul akbar jihadun nafs).
Itulah sebabnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Sukuni dari Abu ‘Abdillah Al-Shadiq (a.s.), ketika Rasul saw melihat pasukan yang kembali dari sebuah peperangan, beliau bersabda: “Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil, dan masih harus melaksanakan jihad akbar.” Ketika orang-orang bertanya tentang makna jihad akbar itu, Rasul saw menjawab: “Jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs)” (Khomeini, Imam, 40 hadis, 1992).
Jihad yang dilakukan untuk memerangi hawa nafsu adalah dengan mendengarkan hati berzikir secara istiqamah atau yang lebih dikenal dengan zikir khafi.
Silakan simak tulisan: Zikir Khafi: Strategi Perang Melawan Hawa Nafsu
Berbuat baik jika hatinya tidak bersih dari penyakit hati, maka hasilnya tidak membuahkan kemanfaatan. Kerap kali orang beriman yang tidak melakukan tazqiyatun nafs (penyucian jiwa) terjebak dengan niat berbuat baiknya diselimuti oleh unsur riya yang tersembunyi di dadanya.
Hati bersih dari berbagai penyakit hati dapat mengantarkan seseorang kepada tindakan dan perkataan yang benar, tidak lagi di hatinya menyimpan dusta. Karena itu, memerangi hawa nafsu tidaklah dapat dipandang mudah jika tidak dilandaskan dengan niat yang tulus untuk melakukannya.
Jihad al-nafs, seusai perang Badar, merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh orang-orang beriman. Tanpa berjuang menyucikan jiwa dengan zikir khafi, banyak amal saleh tampak terlihat di lahirnya saja, sedangkan di dalam hatinya masih menyimpan kebohongan.
Silakan simak tulisan: Penyucian Jiwa Melalui Zikir Khafi
Maka jelaslah bahwa keimanan dan ketakwaan menjadi harga mati untuk diikuti dengan sebuah perjuangan di jalan Allah untuk meraihnya.
One thought on “Cara Meraih Keimanan dan Ketakwaan Kepada Allah”