Derajat ikhlas dalam berbuat baik lahir atas keyakinan bahwa Allah telah banyak berbuat baik kepada orang-orang yang beriman. Jika ada keinginan berbuat baik hendaknya didasarkan dengan niat tulus karena Allah, bukan karena dorongan hawa nafsu (riya atau terpaksa).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).
Sangat berbeda berbuat baik karena Allah (ikhlas) dengan bukan karena Allah. Dengan seizin Allah, saya akan mendudukkan topik ini dari pendekatan tasawuf.
Makna Ikhlas
Apa itu ikhlas?
Sepertinya semua orang dapat mengatakan “ikhlas” melalui lisannya ketika ditanya atas perbuatan baiknya kepada orang lain. Dan, semua orang yang menyaksikannya juga tidak tampak terlihat bahwa orang tersebut tidak ikhlas.
Saudaraku, berbuat yang dilandaskan dengan niat tulus karena Allah atau ikhlas tidaklah semudah seperti apa yang orang mudah untuk mengucapkannya.
Letaknya ikhlas itu tidak terlihat, ada tapi jauh di kedalaman hati sanubari.
Karena itu, ikhlas tidak serta merta karena kemampuan untuk menyatakan kata “ikhlas” di lisan diartikan telah benar sampailah pada derajat ikhlas tersebut.
Terlampau dini untuk menyebut suatu perbuatan baik sudah pasti dilakukan dengan ikhlas. Lalu, bagaimanakah sesungguhnya yang disebut telah sampai pada derajat ikhlas atas perbuatan baik seseorang?
Saudaraku, Allah itu Tuhan Yang Maha Mengetahui isi hati. Tidak ada suatu perbuatan baik apa pun yang dilakukan oleh seseorang selain Allah telah mengetahui isi hatinya.
Jika isi hati masih diselimuti oleh penyakit hati, maka pasti bias perkataan ikhlas di lisan seseorang. Maksudnya, apa yang diucapkannya itu tidak sebagaimana hatinya.
Jika di dalam hatinya ada tersembunyi niat ingin memperoleh simpati (pamrih), maka perbuatan baik itu telah terhapus tanpa nilai pahala. Apalagi jika perbuatan baik itu hanya mengelabui orang lain agar niat jahatnya dapat dicapai.
Juga jika suatu perbuatan baik seseorang itu dilakukan dengan hati yang terpaksa, maka tidak dapat disebut orang tersebut telah ikhlas dalam berbuat baik.
Jadi, perbuatan baik seseorang telah sampai kepada derajat ikhlas jika di dalam hatinya tidak ada penyakit, melainkan dia telah mendapati bahwa Allah telah menyucikan hatinya karena perjuangannya membersihkan hati dari berbagai penyakit.
Baca: Penyucian Jiwa Melalui Zikir Khafi Itulah makna ikhlas yang sesungguhnya.
Makna Berbuat Baik (Amal Soleh)
Apakah amal soleh itu?
Amal soleh adalah suatu perbuatan yang apabila dilakukan dengan hati yang tulus dapat mendatangkan kebaikan pada diri dan orang lain. Contohnya adalah solat.
Allah telah berfirman:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45).
Sangat jelas pada ayat di atas, bahwa solat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ada dampak positif yang diperoleh dari mendirikan solat.
Jika muncul suatu pertanyaan: Bagaimanakah solat yang dijalankan oleh seseorang dengan tetap orang tersebut berbuat keji dan mungkar?
Solatnya tetap disebut amal soleh, sekalipun orang atau si pelaku solat telah berbuat keji dan mungkar. Artinya, solat terlahir sebagai perintah yang diturunkan oleh Allah sesungguhnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar tidak akan berubah menjadi amal buruk.
Sebaliknya, justru dari kedudukan solat sebagai amal soleh dapat mendudukkan pelaku solat yang tidak dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar belum dapat disebut sebagai orang soleh sekalipun dia rajin solat.
Kondisi jiwa seorang pelaku solat yang masih berbuat keji dan mungkar tidak sejalan dengan apa yang menjadi kehendak Allah dalam mendirikan solat. Keikhlasan dalam mendirikan solat belum sampai pada tingkat keimanan pelaku solat tersebut.
Kecenderungan orang solat seperti itu lebih dilandasi oleh hawa nafsunya, bukan karena Allah dalam mendirikannya. Bukan lillah tetapi linafsi. Ada riya atau ingin dipuji solatnya oleh manusia.
Sangat sulit untuk mencapai solat khusyuk jika solat yang dikerjakan dengan suasana jiwa seperti itu.
Sekiranya ada kemampuan mendirikan solat (secara personal) sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah, yaitu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, maka sangat mudahlah peluang berbuat baik kepada orang lain (kesolehan sosial) karena Allah dan bukan karena hawa nafsunya.
Niat Tulus (Ikhlas): Strategi Membangun Kekuatan Jiwa Melawan Kebatilan
Perbuatan baik karena riya (ingin dipuji) akan menghapus pahala perbuatan baik tersebut. Demikian juga jika karena terpaksa, maka pahala perbuatan baik tersebut tercegah sampai akhirnya Allah-lah yang menetapkan sendiri atas pahala tersebut dihilangkan atau tidaknya.
Akankah menghilangkan secara percuma suatu pahala yang dikandungnya atas perbuatan hanya tersangkut untuk sebuah pujian atau keterpaksaan?
Kiranya hanya cukup untuk mendapatkan pujian dan keterpaksaan, maka seluruh waktu, tenaga, finansial dan lain-lain faktor pendukung yang sudah dikeluarkan akhirnya terbuang percuma.
Kerugian terbesar adalah mengancam pilar utama keimanan menuju kebangkrutan, jika tidak disebut hilangnya keimanan yang paling mendasar dari dalam jiwa. Naudzu billahi tsumma naudzu billahi min dzalik.
Karena itu, pandai-pandailah menyelami ketulusan hati.
Kepandaian mengetahui ketulusan hati berarti belajar mengenali apa yang harus diperbuat oleh hati untuk secara istiqamah berada di dalam rahmat Allah. Hati yang tercurahkan rahmat hanya dapat terjadi sekiranya menyadari akan bahaya ajakan kejahatan hawa nafsu.
Hilangnya kesadaran atas kejahatan yang dilakukan hawa nafsu menghilangkan semangat juang untuk mengendalikan gejolak jahat hawa nafsu tersebut.
"Kesadaran" adalah kata kunci untuk menyusun kekuatan jihad (perjuangan) memerangi kebatilan di dalam jiwa.
Adakah cara atau strategi yang dapat dilakukan agar mampu membangun kekuatan jiwa melawan kebatilan? Jawabannya adalah menanamkan niat yang tulus akan pentingnya meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Jawaban yang paling mendasar tersebut dilakukan tahap demi tahap dengan senantaisa meluangkan waktu denga berdoa dan berupaya mengamalkan apa yang telah ditetapkan Allah dalam beribadah kepada-Nya.
Berat dan ringannya perbuatan yang dapat dilakukan tergantung keistiqamahan untuk tetap berada pada niat yang diikrarkan tersebut. Maka, bermohonlah kepada Allah agar dirahmati niat yang tulus untuk beribadah kepada-Nya.
Jangan menganggap bahwa doa memohon diberikan kekuatan niat yang benar atau tulus (sidqan niyyah) merupakan perihal yang sepele. Bagaimana pun gigihnya seseorang untuk selalu ingin berbuat baik jika didasarkan bukan pada niat yang tulus, hasilnya adalah kesia-siaan.
Inilah rahasia yang selama ini banyak menyelimuti kaum mukmin ketika dia tak pandai berdoa memohon kekuatan niat tulus tersebut.