Bagaimanakah Hakikat Shalat yang Sebenarnya
 

bagaimanakah hakikat shalat yang sebenarnya

 
Bagaimanakah hakikat shalat yang sebenarnya?
 
Saudaraku, sujud kepada Allah bermakna tunduk dan merendahkan diri (baca: jiwa dan raga). Adakah ketika sujud di dalam shalat bahwa Allah telah berwujud di dalam kehendak-Nya sehingga kita benar-benar menyadari akan kehadiran-Nya?

Inilah Hakikat Shalat yang Sebenarnya

Shalat bukanlah 'hanya' dilakukan 'sebatas', tetapi 'benar-benar' sedang menyembah Allah Yang Maha Pencipta.
 
Jika shalat 'hanya' dikerjakan untuk 'sebatas' memenuhi kewajiban, maka sujudnya bukan merendahkan diri (baca: jiwa dan raga) di hadapan kemahabesaran Allah, selain shalat yang dilakukannya 'hanya' untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya, tidak memenuhi apa yang menjadi kehendak Allah. Naudzu billah tsumma naudzu billahi min dzalik.
 
Allah swt bukanlah Tuhan yang tidak dapat dilihat keberadaan-Nya oleh kepekaan hati karena keridaan-Nya, selain tidak seluruh jiwa mengenali bagaimana Allah telah berkenan menunjukkan akan kehadiran-Nya karena Dia (Allah) belum meridainya.
 
Jikalau Allah tak ada di dalam shalat, kepada siapakah kita menyembah? Pasti Allah hadir di dalam shalat. Bagaimanakah Allah hadir di dalam shalat kita?
 
Inilah yang selama ini masih banyak kaum mukmin yang tidak mau tahu akan kedudukan Allah sebagai Tuhan yang patut disembah, sedemikian hingga dia tidak mengenali dan menyadari bahwa Allah Ada di dalam kehendak-Nya.
 
Perlukah kaum mukmin harus mengenali dan menyadari akan kehadiran Allah di dalam hatinya sehingga Dia (Allah) akan memperkenalkan Diri-Nya sebagaimana sepatutnya terjadi di dalam melakukan suatu hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya (hablum minallah)?
 
Bukanlah disebut telah melakukan hubungan jika diantara pihak-pihak yang saling berhubungan tidak mengenali dengan siapakah dia berhubungan.
 
Sebagai Tuhan, Allah pasti Maha Mengetahui siapakah dia hamba-Nya itu. Tetapi, sebagai manusia yang diciptakan Allah, adakah kaum mukmin tidak bergegas mau mengenali dan menyadari akan kehadiran Allah sebagai Tuhannya?
 
Lihatlah diri (secara materi-fisik-lahiriah) di hadapan cermin, adakah dia sungguh-sungguh seperti yang terlihat di dalam cermin? Wujud 'diri' (unsur ruhaniah) bukanlah sebagaimana di dalam cermin. Itu hanya bayangan dari 'diri' yang jasadi-fisik-jasmani, bukan 'diri' yang ruhaniah-insaniah (hamba yang tunduk dan patuh untuk mengabdi).
 
Jika mengenal 'diri' yang ruhaniah-insaniah di dalam cermin tak tercapai pastilah bukan itu diri yang selalu mengabdi kepada Tuhannya. Allah Maha Gaib, sedangkan 'diri' yang jasmaniah sangat tampak (syahadah) terlihat, mustahil akan berada di dalam 'keluasan penglihatan' yang tidak terjangkau.
 
Di dunia ini tersaji secara fisik-jasmani-lahiriah, maka tidaklah dapat dicapai Wujudullah jika salat yang dilakukan hanya lahiriah semata.
 
Keterlibatan hati-ruhaniah dalam kedudukan sebagai 'diri' yang telah dirahmati oleh Allah-lah, maka kehadiran-Nya 'dapat' dikenali dan, bahkan, diperkenankan untuk dilihat Wujud-Nya sebagai Tuhan yang patut untuk disembah (secara lahir dan batin).
 
"Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu" (QS. Al-Hadid: 3).***
 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top