Kebenaran Pendapat Versus Kebenaran Wahyu
Hati dan akal
 
Kebenaran pendapat tidak sama dengan kebenaran wahyu. Ini sudah menjadi kepastian hukum tentang kebenaran. Jika suatu pendapat (seseorang) telah dianggap benar, tentu saja, sangat relatif. Tidak bersifat mutlak.
 
Kebenaran pendapat bukan terletak pada wilayah-Nya (Allah), selain berada di dalam kapasitas kemampuan berpikir analitis yang sangat terbatas pada otak manusia.
 
Karena itu, kebenaran pendapat masih patut untuk dikaji kembali dengan pendekatan yang berbeda. Sekalipun seseorang telah berpendapat tentang kebenaran Al-Quran, maka sekiranya masih berada dalam produk pemikiran tidaklah berarti bersifat mutlak kebenaran pendapatnya tentang Al-Quran.
 
Sedangkan kebenaran wahyu, yang sangat jelas milik Allah, diturunkan ke dalam hati orang-orang yang terpilih seperti para nabi dan rasul-Nya, juga orang-orang bertakwa (yang telah berjuang di jalan Allah menyucikan jiwanya dari segala bentuk rongrongan setan laknatullah ‘alaih). 
 

Model Penilaian Kebenaran Pendapat

 
Berpikir terbuka dan berpikir tertutup
 
Menilai suatu perbuatan dan perkataan seharusnya disertai dengan keterbukaan berpikir (open mindedness), tidak dihiasi dengan berpikir tertutup (close mindedness). Berpikir terbuka dilandaskan atas sikap tidak apriori atau memandang negatif terhadap pesan-pesan yang disampaikan orang lain. Begitu juga dalam menyaksikan perbuatan seseorang atau sekelompok orang. 
 
Berpikir tertutup justru sebaliknya, apa pun yang diucapkan dan diperbuat orang lain, tanpa terlebih dahulu dipertimbangkan dengan kemungkinan ada pesan-pesan yang belum sampai kepadanya, tertolak tanpa menilai adanya kemungkinan benar karena ada perbedaan pendapat. Maka, berpikir tertutup selalu memandang negatif apa yang diperbuat orang yang tidak sehaluan dalam ideologi atau mazhab pemikiran. Milik siapakah kebenaran itu? 
 
Pertanyaan ini sepatutnya muncul dalam benak setiap orang beriman saat menilai pendapat sendiri atau orang lain. Maka, hati yang bersih pasti menjawab: Milik Allah.
 
 
Benarkah pendapatku atau salahkah pendapat mereka? Kebenaran bukan milik manusia, maka jawabannya adalah relatif. Mustahil kebenaran mutlak dikuasai oleh cara berpikir manusia.> 
 
Logika manusia sebatas tingkat intelegensinya. Kecerdasannya dalam berpendapat tidaklah menuai pada kebenaran yang hakiki. Kemungkinan benar dapat terjadi, tetapi kebenaran mutlak mustahil terjadi pada kecerdasan akal manusia. Tentang kebenaran pendapat, siapa pun yang menyampaikannya, tidak dapat disamakan dengan kebenaran yang diturunkan (wahyu atau ilham) kepada manusia yang berhati suci atau bersih. 
 
Ke dalam otak, pendapat diproses (diolah, dianalisis dan disimpulkan) kemudian dimunculkan kembali melalui kerja otak masing-masing indvidu (kaum mukmin). Kebenaran pendapat menjadi relatif ketika yang menyampaikannya tidak seahli orang (guru) yang pertama kali menyampaikan pendapatnya. 
 
Guru yang cerdas dalam berpikir (kekuatan IQ-nya melebihi rata-rata) pasti berbeda dengan murid-muridnya yang belum atau sama ahlinya dengan guru-gurunya.
 
Jika muridnya juga menjadi ahli, tetap saja tidak dapat pendapatnya dikategorikan menjadi benar secara mutlak. 
 
Pendapat merupakan produk pemikiran, bukan produk yang diturunkan secara langsung dari Allah, melainkan hasil karya berpikir otak manusia. 
 
Maka, mustahil Nabi saw berpendapat dalam menyampaikan wahyu yang diturunkan Allah melalui Jibril as. kepadanya, selain beliau hanya menyampaikan kembali melalui lisannya tanpa mengolah, menganalisis dan menyimpulkan oleh kemampuan berpikirnya.

Kebenaran Wahyu Bersifat Mutlak

 
Hati menerima wahyu
 
Kebenaran pendapat, dengan demikian, hanyalah bersifat relatif, tidak mutlak kebenarannya. Sedangkan, ilham atau wahyu yang diturunkan sebagai petunjuk, kebenarannya tidak dapat diragukan karena bukan produk pemikiran. Karena itu, kebenarannya bersifat mutlak.
 
Itulah karunia yang diturunkan oleh Allah ke dalam hati orang-orang yang selalu tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Allah. Al-Quran menjadi tidak mutlak kebenarannya jika Al-Quran merupakan produk pemikiran (pendapat) Muhammad.
 
Al-Quran memang diturunkan ke dalam hati Nabi saw.
 
Katakanlah: Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 97).
 
"Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki," (QS. An-Nuur: 35) tidak dapat dinilai mustahil ada. Itu kalimat atau perkataan Allah.
 
Orang-orang beriman tidak dapat mengingkari kalimat kebenaran yang diterangkan Allah di dalam kitab-Nya (Al-Quran). Keragu-raguan muncul disebabkan derajat (maqam) keimanannya masih lemah (belum bertakwa). Orang bertakwa pasti tidak ragu.
 
"Itulah Al-Quran yang tak ada sedikit pun keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 2). 
 
Maka, kalimat-kalimat yang diutarakan orang bertakwa pastilah diperoleh berdasarkan petunjuk dari Allah ke dalam hatinya.
 
"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS. Al-Baqarah: 5).
 
Perkataan orang-orang bertakwa bukan berdasarkan talar yang diperoleh di luar hatinya, kecuali dirujuk dari Al-Quran dan sabda Rasulullah saw, melainkan setiap perkataan yang diucapkan dan dituliskannya bersumber dari petunjuk yang diturunkan Allah ke dalam hatinya.
 
Termasuk dalam tindakan dan perilakunya senantiasa mengikuti apa yang ditunjukkan Allah ke dalam angota tubuh jasmaniahnya. Maka, perkataan dan perilaku orang bertakwa tidak dilandaskan pada otaknya, melainkan mengikuti petunjuk dari Allah. ***
 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top