Belajar Berserah Diri Kepada Allah
Belajar berserah diri bersama Waliyyan Mursyidan
 
 
Belajar berserah diri kepada Allah menutup semua kelemahan yang ada pada diri sendiri. Adakah sesungguhnya terdapat ketidakpastian pada perbuatan yang dilakukan diri manusia jika tanpa pertolongan Allah?
 
Jawabnya pasti, bahwa memang pada diri manusia tidak memiliki kepastian untuk dapat berbuat baik jika tidak ada pertolongan Allah.
 
Keleluasaan setiap jiwa berkiprah dalam kehidupan tidak dibatasi oleh apa dan siapa pun. Masing-masing boleh mengambil peran atas dirinya untuk kebaikan. Allah memberi kebebasan sepanjang kiprahnya tidak berseberangan dengan kehendak-Nya.
 
Di sinilah pentingnya berserah diri kepada allah untuk membuka diri pada kehendak Allah, bukan sebaliknya selalu memaksakan diri bahwa pada diri ada kemampuan untuk berbuat mengikuti apa yang menjadi kehendak Allah.
 
Keterbatasan yang ada pada diri (manusia) sangat banyak dan, karena itu, tidak dapat diperbandingkan dengan yang ada pada Diri (Allah).

Makna Berserah Diri Kepada Allah

Apa itu berserah diri kepada Allah?
 
Berserah diri kepada Allah adalah suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui wasilah dengan berjuang di jalan-Nya.
 
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 35).
 
Jalan (wasilah) yang dimaksud pada ayat itu adalah seorang Guru atau Mursyid yang telah menempati kedudukan Waliyyan Mursyidan (seorang Imam  yang telah memperoleh petunjuk yang dengan keridaan Allah diberikan otoritas untuk mengajarkan dan membimbing orang-orang beriman ke jalan-Nya yang lurus hingga mencapai derajat takwa). 
 
Cara untuk menyiapkan agar dapat berserah diri kepada Allah adalah dengan mengenal diri lebih dahulu. Dengan cara ini, maka berjuang untuk mengenal Allah akan lebih mudah menemukan jalan-Nya.
 
Kalimat masyhur yang dikenal oleh kalangan yang sedang menempuh perjalanan suci (penyucian jiwa), di antaranya adalah:
 
“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.” (Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh mengenal Tuhannya).
 
Belajar berserah diri kepada allah, degan begitu, adalah suatu proses perjuangan mendekatkan diri kepada Allah bersama seorang Waliyyan Mursyidan melalui penyucian jiwa untuk mencapai derajat dekat dengan Allah.
 

Mengenal Diri

 
Mengenal Diri
 
Sesungguhnya banyak manusia yang tidak mengenal dirinya sendiri sehingga pastilah tidak juga akan mengenal Allah. Kebutuhan untuk mengenal diri menjadi sangat penting bagi orang-orang beriman jika berharap dapat mengenal Allah.
 
Mengenal Allah sesungguhnya mengenal kehendak-Nya. Dan, jika tidak didahului dengan mengenal diri sendiri,  pastilah sulit untuk mencapai mengenal kehendak Allah.
 
Persoalan yang sangat umum adalah setiap manusia baru mengetahui ada banyak keinginan yang harus dipenuhi dalam perjalanan hidupnya, di satu sisi, sedang di sisi lain tidak semua keinginannya terpenuhi.
 
Penilaian negatif muncul bahwa sepertinya Allah tidak lagi sayang kepada dirinya. Syu’udhan kepada Allah lahir dalam jiwanya.
 
Dalam pikirannya, bahwa keinginannya itu adalah hal yang wajar dibutuhkan oleh dirinya sebagai manusia. Tak pernah berhenti bertanya mengapa setiap yang diinginkannya tidak selalu berhasil.
 
Dalam kondisi seperti itu, maka sangat mudah dirinya terjebak putus asa. Lemah untuk memenuhi kewajiban sebagai pribadi muslim menjalankan ibadah.
 
Pengetahuan tentang kasih sayang Allah dipatahkan oleh keputusasaan. Jiwanya terbelenggu oleh setan yang terus membisikkan kejahatan di dadanya.
 
Terjadi perubahan dalam kepribadiannya, sangat sensitif dan cepat emosi.
 
Sampai di sini, apa yang sesungguhnya terjadi adalah dia belum mengenal dirinya sendiri.
 
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapakah diri (nafs) itu?
 
Untuk mengetahui “Siapakah diri (nafs) itu?” sesungguhnya merupakan sebuah bentuk perjuangan untuk mengenal diri (nafs).
 
Dan ternyata, “Siapakah diri (nafs) itu”, Allah swt telah menerangkannya di dalam Al-Quran sebagai berikut:
 
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53). 
 
Dari ayat tersebut, dapatlah diketahui hal-hal sebagai berikut:
 
  1. Manusia tidak dapat terbebas dari kesalahan;
  2. Nafsu bersifat jahat;
  3. Nafsu yang disayangi Tuhan (Allah) adalah nafsu yang tidak lagi cenderung berbuat jahat;
  4. Sesungguhnya Allah Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.
 
Dari keempat hal tersebut sangat jelaslah ada perbedaan yang sangat jauh antara diri manusia dengan Diri Allah.
 
Pada diri manusia selalu terdapat kecenderungan berbuat jahat, dan karena itu, manusia tidak akan mampu melepaskan dari kesalahan dan dosa.
 
Pada tahap ini, Allah sesungguhnya hendak memperkenalkan kepada segenap umat manusia akan hakikat dirinya. Bahwa perwatakan manusia dengan nafsu yang telah disertakan dalam eksistensinya sebagai makhluk ciptaan Allah berkepribadian setan.
 
Sifat-sifat jahat yang selalu menghasilkan kezaliman pada dirinya dan orang lain juga merupakan sifat kepribadian setan dari golongan jin, yakni iblis laknatullah ‘alaih.
 
Jika hal demikian tidak lagi menjadi perhatian umat manusia, maka manusia akan jatuh menjadi manusia setan (hawa nafsu).
 
Karena itu, Allah juga hendak memperkenalkan Diri-Nya sekiranya sangat berharap agar dirinya disayangi oleh Allah.
 
Dengan kasih sayang-Nya, Allah berfirman pada ayat itu: “Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
 
Betapa pun kodrat manusia telah diciptakan dengan hawa nafsunya, sesungguhnya Allah masih dapat mengampuni dan menyayangi.
 

Mengenal Allah

 
Zikir khafi
 
 
Setelah mengenal diri, sebagaimana telah diterangkan oleh Allah di dalam Al-Quran, maka sesungguhnya telah mengenal siapakah (Diri) Allah itu?
 
Ternyata, Allah sesungguhnya Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 
“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 54).
 
Diberitahukan kepada segenap umat manusia bahwa diri (nafs) itu, yang memiliki kecenderungan berbuat jahat, janganlah terus diikuti. Allah menghendaki agar hanya mengikuti Diri-Nya dan Rasul-Nya saw serta orang-orang yang telah tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya saw.
 
Larangan Allah untuk mengikuti ajakan setan (hawa nafsu) karena sifat atau perwatakan setan sangat buruk atau jahat.
 
Menjauhkan dari memperturutkan keinginan hawa nafsu merupakan perang besar. Kata Nabi saw “Jihadul akbar jihadun nafs” -- Perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu.
 
 
Adapun pembatasan terhadap setiap perbuatan yang melahirkan keburukan, tidaklah berarti ada pelarangan untuk berbuat kebaikan. Hal-hal yang dilarang dan yang diperintahkan pasti tidak sama. Maka, kebebasan tidak juga tanpa ada pembatasan sekiranya berdampak tidak baik. 
 
Sepanjang kebebasan berkiprah di jalan yang lurus, maka kebebasan itu terarah sejalan dengan petunjuk. Sebaliknya, jika kebebasan diterapkan pada jalan yang dimurkai dan disesatkan, maka para pelaku kebebasan berlepas dari aturan-aturan kebenaran. Hasilnya jadi 'kebablasan'.
 
Adakah orang yang hidup di dunia dikekang karena aturan-aturan Allah tidak sejalan dengan keinginan hawa nafsu? Pengekangan sebetulnya adalah pengendalian.
 
Bagaimana pun hebatnya seseorang yang hidup di dunia, dia tak dapat berlepas dari kesalahan. Adanya kecenderungan semacam ini, keberadaan seseorang di dunuia belum mampu mengendalikan atas kebebasannya dalam berkiprah. Dorongan hawa nafsu telah mengalahkan keleluasaannya dalam berperan menjalankan keberadaannya di dunia.
 
Karena itu, jika kemampuan mengendalikan 'kuda liar' hawa nafsu masih lemah, sepatutnya jangan memaksakan diri menaiki 'kuda liar' tersebut. Akibat buruknya adalah terpentalnya diri menjauh dari tujuan yang harus dicapai. Jalannya akan terseok-seok karena kuatnya tenaga 'kuda liar'.
 
Pertolongan Allah kepada orang-orang beriman disebabkan karena lemahnya manusia menghadapi 'kuda liar'. Disadari atau tidak, pertolongan tersebut diturunkan oleh Allah untuk belajar mengendalikan 'kuda liar'.
 
Persoalan kemudian muncul ketika seorang hamba tetap tidak menyadari adanya pertolongan Allah tersebut untuk menjadi bahan pelajaran agar tidak terjadi kesalahan dalam mengendalikan 'kuda liar'.
 
Kenyataan menunjukkan bahwa jiwa seorang hamba sangat mudah terjatuh ketika mengikuti kekuatan 'kuda liar' yang sangat ganas. Tiadanya kemampuan mengendalikan 'kuda liar' menjadi penyebab utama pentingnya belajar dengan sungguh-sungguh untuk meraih kekuatan mengendalikannya dari Sang Maha Perkasa lagi Maha Gagah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.

Mengapa Harus Bersama Seorang Mursyid?

 
Nasehat orang takwa kepada orang beriman
 
Berjuang di jalan Allah melalui proses penyucian jiwa sangat berbahaya jika dilakukan tanpa bimbingan seorang Waliyyan Mursyidan.
 
Mengapa?
 
Mursyid yang telah berkedudukan sebagai seorang wali adalah seorang hamba Allah yang telah melampaui perjuangan atas kehendak dan pertolongan Allah untuk dihadirkan menjadi wasilah bagi orang-orang beriman.
 
 
Melalui beliau, Allah menurunkan kebijaksanaan-Nya dengan karunia yang banyak sebagai bukti atas keridaan Allah memilih dirinya yang masih berada bersama dengan umat Rasulullah saw.
 
Penetapan Allah atas diri seorang hamba menjadi wali-Nya untuk memberikan pengajaran adalah hak mutlak Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi kehendak Allah.***
   
   

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top