Akhlak Pezikir dan Pemikir
akhlak pezikir dan pemikir
 
Antara akhlak pezikir dengan pemikir terdapat perbedaan. Jika ada, di manakah perbedaannya? Pertanyaan ini lahir karena situasi yang memungkinkan terjadinya perbedaan tersebut. Persoalan yang kemudian muncul adalah mengapa harus membandingkan di antara keduanya? Bukankah otak diciptakan oleh Allah untuk berpikir, dan karena itu, seorang hamba Allah tidak dapat menghindarinya?
 
Ada apa dengan pemikir dan bagaimana pula dengan pezikir? Jika keduanya dipersatukan, adakah terlihat perbedaannya? Adakah setiap insan tidak sama dalam menyikapi karunia yang telah diberikan oleh Allah?
 
Saudaraku, sekilas sepertinya ada sesuatu yang niscaya mengejutkan bagi sementara orang-orang beriman. Hal ini dapat terjadi karena perbandingannya sangat memungkinkan adanya dikotomi. Perilaku (akhlak) pemikir berbeda dengan pezikir.
 
Apabila Anda menyimak pembicaraan seseorang atau Anda membaca hasil pemikiran seorang penulis buku, Anda akan dapat mengetahui tingkat kecerdasan si penulis atau penyampai pesan tadi. Anda dapat mengacungkan jempol atau, setidaknya, Anda sangat merasa kagum atas pemikirannya.
 
Seorang pemikir adalah seorang yang mengerahkan seluruh kemampuan berpikirnya dengan dasar-dasar yang disimpan dalam laci memorinya. Tingkat intelegensinya (IQ) berada di atas rata-rata kebanyakan orang. Terikat oleh kaidah berpikir logis dan sistemik.
 
Bagi seorang pemikir, setiap informasi (objek yang dipikirkan) sangat mengandung muatan yang harus diinput ke dalam laci memorinya. Langkah yang selanjutnya dilakukan secara spontan akan memenuhi daya olah intelegensinya. Proses berpikir logis memulai aksinya untuk menentukan ke arah penetapan tingkat pemahaman yang harus diwujudkan dalam pengkategorian atau penjelasan-penjelasan detil. Dari situ, kekuatan memberikan pengklarifikasian setiap informasi yang sudah diolah dan dianalisis berakhir dalam penyimpulan.
 
Tentu saja, semua itu dilakukan dengan mengerahkan sistem kerja otak yang menuntut kecekatan dan kekuatan daya dukung proses berpikir berlangsung. Jika dalam situasi berpikir yang menuntut banyak perhatian, maka seorang pemikir tidak dapat membiarkan penjelajahan otak, selain harus benar-benar fokus.
 
Anda, sekiranya dalam kategori IQ di bawah rata-rata, pastilah sangat melelahkan untuk berpikir logis analitis. Itu sudah menjadi hukum kepastian dalam proses berpikir semacam itu. Bahkan. sang pemikir pun tidak dapat menghindar akan terjadinya penegangan sel-sel saraf otak saat berpikir itu harus berlangsung.
 
Akibatnya, seorang pemikir akan mudah tersinggung apabila proses berpikir yang dilakukannya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Daya kreasinya mengalami distorsi karena sebab-sebab tertentu yang sangat sulit didapatkan dengan cepat.
 
Tanpa disadari, bahwa ternyata berpikir yang sangat mengerahkan sistem kerja otak dapat menumpulkan kondisi jiwanya ke arah ketidakstabilan. Ketersinggungan merupakan salah satu indikasi tidak stabilnya jiwa saat otak tidak lagi mampu memperoleh hasil yang tercerahkan.
 
Keangkuhan akan muncul manakala dirinya telah menemukan hasil yang sangat menakjubkan saat orang lain tidak mendapatkannya. Akhlaknya menjadi semakin tidak kondusif terhadap pemikiran-pemikiran yang tidak secemerlang dirinya.
 
Adakah dalam kondisi jiwa yang semacam itu dapat melahirkan rasa keberimanan yang sejalan dengan kehendak Allah? Sangat sulit akal cerdas tanpa diimbangi dengan ketenangan jiwa dapat menimbulkan rasa cinta kepada Allah dengan setulus hati. Keberimanan tidak cukup dengan kekuatan akal pemikiran sedangkan hatinya tidak tenteram. 
 
Selemah-lemahnya iman ada di hati. Bagaimana iman akan meningkat sedangkan hatinya tidak tenang (tidak stabil)? Kekuatan iman sangat membutuhkan hati atau jiwa yang sejalan dengan kehendak Allah:
 
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram" (QS. Ar-Ra'd: 28).

Pezikir

Adakah seorang pezikir sangat mendukung rasa keberimanannya kepada Allah? Sebagaimana diterangkan pada ayat di atas, bahwa orang beriman hatinya tenteram karena mengingat Allah (zikrullah). Ayat Allah tersebut, sekali lagi, telah menetapkan akan kedudukan orang beriman dengan hati yang tenteram karena zikir (mengingat) Allah.
 
Tanpa zikir (di hati), sangat sulit seseorang akan dapat meningkatkan keimanannya karena hatinya tidak tenteram. Ada hubungan yang sangat signifikan antara ketenteraman hati karena berzikir dengan bertambahnya keimanan seseorang. Allah sendiri yang telah menerangkan hal tersebut.
 
"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Fath: 4).
 
Para pezikir, khususnya pezikir khafi, adalah orang-orang yang telah memenuhi perjanjiannya dengan Allah. Maka, Dia (Allah) pun membalas dengan ketetapan-Nya, yakni mengikat kuat rasa cinta-Nya kepada hamba-Nya.
 
"Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan kami taati". Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati (mu)" (QS. Al-Ma'idah: 7).
 
Keterikatan dengan Allah dapat melahirkan hubungan yang sangat dekat dengan-Nya. Segala hal yang di luar hatinya hanyalah merupakan sekumpulan godaan dan gangguan yang dapat membuat jarak menjadi semakin jauh dengan Allah. Para pezikir khafi melepaskan kepenatan berpikir atas segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Perhatiannya ke dalam hati telah menemukan rasa ketenteraman. Allah disebut-sebut oleh hatinya dengan asma dan kalimat-kalimat-Nya.
 
Sepanjang waktu, baik waktu berdiri, waktu duduk dan waktu berbaringnya, Allah selalu diseru dengan penuh kelembutan. Allah adalah tujuan hidupnya dan keridaan-Nya adalah dambaannya. Dunia sudah tidak lagi menjadi perhatian yang harus selalu dipikirkan oleh otak cerdasnya.
 
Bagi pezikir khafi, dunia laksana fatamorgana yang sangat menipu. Banyak kebohongan terjadi dalam kehidupan di dunia. Para musuhnya, yakni setan laknatullah 'alaih, telah dijauhkan dari kehidupannya.
 
Kemampuan berpikirnya dialihkan hanya untuk mendengarkan dan menaati apa yang disuarakan di hati. Sebagaimana telah diterangkan oleh Allah, bahwa sesungguhnya Dia (Allah) telah menganugerahkan kepada semua jiwa orang-orang beriman rasa kebahagiaan hidup di akhirat. Dengan keterangan-Nya itu, Allah telah memberi perintah untuk menemukannya.
 
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashash: 77).
 
Para pezikir khafi bukanlah tipikal orang yang lari dari kehidupan dunia (berputus asa untuk memikirkannya), melainkan seorang berakal (ulul albab) yang telah menemukan jalan menuju Tuhannya azza wa jalla. Mereka bukanlah orang yang sekedar berzikir tanpa ada perjuangan mencapai derajat ikhlas menjalankan perintah Allah kepada dirinya untuk mendengarkan zikir di hati secara istiqamah.
 
Orang-orang yang tidak melupakan Allah di hati telah berhasil mencegah hawa nafsunya untuk mengikuti apa yang diinginkannya dari kehidupan di dunia ini. Akhirat sebagai tempat hidup dan kehidupan yang sesungguhnya telah dipersiapkan saat masih dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Mereka telah berjuang menaati Allah dari sisa waktu hidupnya di dunia ini sebagaimana Allah telah memperingatkannya pada ayat di bawah ini:
 
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik" (QS. Al-Hadid: 16).
 

4 thoughts on “Akhlak Pezikir dan Pemikir

  1. Alhamdulillah, telah hadir seseorang yang memberikan komentar. Mas Ichank, ayat di atas ditujukan bagi semua orang-orang beriman yang berzikir, tanpa ada rasa terpaksa atau berkebutuhan saat berzikir (ada pamrih berzikirnya).
     
    Jadi, selama dijalankan dengan penuh keikhlasan, maka zikir (khususnya zikir khafi), maka hatinya dapat merasakan ada ketenteraman. Itulah yang dikehendaki oleh Allah bagi orang-orang beriman yang berhasrat untuk berzikir.
     
    Permasalahan mampu tidaknya seseorang berzikir dikembalikan kepada niat tulusnya. Jika dia orang beriman, seharusnya berzikir. Sebab, jika dilihat dari eksistensi manusia di hadapan Allah, maka sesungguhnya tak ada kekuatan, kecuali karena pertolongan Allah.
     
    Pemberlakuan ayat untuk berzikir (menyebut asma Allah) di hati hanya untuk orang-orang beriman dalam kedudukan yang masih lemah tidak berdaya.
     
    Allah swt memberikan perintah-Nya tersebut untuk meniscayakan dirinya ditolong oleh Allah. Lemah pada awalnya, tetapi niat tulusnya sangat kuat, maka Allah Yang Maha Baik lagi Maha Bijaksana pasti akan menolongnya menjadi bertambah kuat keyakinannya bahwa Allah sungguh-sungguh nyata ada-Nya.
     
    Demikianlah, semoga dapat dijangkau oleh pemahaman hati-ruhaniah, tidak harus selalu dengan kecerdasan akal-pikiran semata-mata. Semoga bermanfaat.
     
    Salam,
     
    Ahmad
  2. "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram" (QS. Ar-Ra'd: 28).

    Ayat ini mungkin hanya dikhususkan bagi mereka yg mampu mengingat Penyandang nama Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top